BAB I : PENDAHULUAN
Sistem pemerintahan dan organisasi masyarakat sipil memiliki hubungan yang sangat erat. Keduanya dapat saling mempengaruhi satu sama lain. Sistem pemerintahan tertentu yang dianut suatu negara dapat memberikan pengaruh terhadap tumbuh kembangnya atau organisasi masyarakat sipil di negara tersebut. Pemerintah tentunya ingin bagaimana caranya agar kebijakan yang telah mereka buat dapat dijalankan, lalu masyarakat sipil berorientasi pada kepentingan dari masyarakat itu sendiri.
Belakangan muncul debat tentang perkembangan organisasi masyarakat sipil di pengaruhi oleh rezim tertentu. Dalam tulisan saya ini, saya akan mengkaji pandangan yang mengatakan bahwa organisasi masyarakat sipil hanya dapat berkembang di negara demokratis.
BAB II : PEMBAHASAN
“Apakah organisasi masyarakat sipil hanya dapat berkembang di negara demokratis? Jelaskan jawaban anda dan berikan cotohnya.”
Jawaban saya untuk pertanyaan diatas adalah tidak, organisasi masyarakat sipil tidak hanya dapat berkembang di negara demokratis saja. Memang terdapat kecenderungan dimana organisasi masyarakat sipil lebih berkembang di negara demokratis, namun tidak menutup kemungkinan untuk dapat berkembang di negara non – demokratis. Organisasi masyarakat sipil sejatinya adalah organisasi non – profit, bukan negara atau market, bersifat demokratis, dan didalamnya membangun kepercayaan dan nilai – nilai bersama diantara anggotanya. Beberapa diantaranya ada yang bersifat politis, dan ada juga yang non – politis. Untuk lebih mengetahui lebih jauh tentang perkembangan organisasi masyarakat sipil di negara demokratis maupun non – demokratis, saya mengkaji dalam dua pandangan yang berbeda di bawah ini.
ORGANISASI MASYARAKAT SIPIL HANYA BISA BERKEMBANG DI NEGARA DEMOKRATIS
“Strong civil society means strong democracy”
Levent Korkut, ketua Civil Society Development Center di Turki.
Profesor Korkut menyatakan bahwa organisasi masyarakat sipil yang kuat dapat memberi gambaran akan demokrasi yang kuat di suatu negara, begitu juga sebaliknya. Jika melihat dari substansi demokrasi yang sebenarnya, hal ini bisa dibenarkan. Negara menjamin warga negaranya untuk bisa mendapatkan hak – hak dasar, tanpa ada paksaan dari pihak manapun di bawah konstitusi negara tersebut. Di negara demokratis, organisasi masyarakat sipil di biarkan untuk berkembang bahkan mengkritik kebijakan pemerintah karena didukung oleh beberapa faktor. Pertama, kebebasan berkumpul dan berorganisasi yang merupakan jaminan dari rezim demokrasi. Kedua, negara demokratis bersifat lebih terbuka dalam menerima kritik atau masukan dari masyarakat sipil. Ketiga, negara sadar bahwa peran masyarakat sipil sangat vital dalam demokrasi, dan untuk memperkuat dan mempertahankan demokrasi pemerintah harus bisa memberikan ruang bagi mereka untuk berkembang, menanamkan, dan mengaplikasikan nilai demokrasi itu sendiri.
Contoh kasus yang menggambarkan pandangan bahwa organisasi masyarakat sipil hanya bisa berkembang di negara demokratis adalah Afrika Selatan dibawah rezim apartheid. Paham apartheid secara institusi dilegalkan oleh pemerintahan Afrika Selatan yang pada saat itu dikuasai oleh komunitas kulit putih sejak tahun 1948 hingga akhirnya di cabut tahun 1994. Selama kurun waktu lebih dari 40 tahun masyarakat ras kulit hitam dan coloured, secara eksplisit tidak memiliki hak dimata ras kulit putih. Organisasi masyarakat sipil bukannya tidak ada sama sekali pada masa itu, lebih tepatnya tidak bisa berkembang. Youth League atau liga pemuda yang di dirikan oleh Nelson Mandela dan dua orang kawannya pada tahun 1944, mencoba untuk menggalang dukungan dari kaum kulit hitam, coloured, dan ras India namun dilarang karena dianggap sebagai organisasi terlarang bagi pemerintah. Setelah paham apartheid dicabut pada tahun 1994 barulah masyarakat sipil di Afrika Selatan dapat merasakan demokrasi yang sebenarnya. Berdasarkan kasus ini, dapat dikatakan bahwa organisasi masyarakat sipil hanya bisa berkembang di negara demokratis, khususnya yang mendukung pluralisme.
ORGANISASI MASYARAKAT SIPIL DAPAT BERKEMBANG DI NEGARA NON – DEMOKRATIS
“Civil society organization limits the power of state” Juergen Habermas[1]
“Non political civil society organization build social capital. Social capital (trust, tolerance, bond, network) is important to democracy” Robert D. Putnam[2]
“Civil society organization as school for building political culture / democratization habit” A. Tocqueville[3]
Pandangan para ilmuwan dan peneliti diatas merujuk pada pentingnya organisasi masyarakat sipil dalam pembangunan demokrasi. Organisasi masyarakat sipil pun menjadi aktor penting dalam proses demokratisasi di suatu negara yang non-demokratis (otoriter), karena mereka menumbuhkan rasa persatuan dan tujuan bersama dalam masyarakat, dan jaringan sosial yang kemudian digunakan untuk mengatur dan melawan kekuasaan hirarki negara (Putnam 1993). Dapat dikatakan dari masyarakat sipil yang kuat, akan lahir demokrasi yang kuat pula. Keterlibatan dalam asosiasi sipil juga mempersiapkan warga negara untuk partisipasi mereka di masa depan dalam rezim demokrasi. Waren (1995) mendukung teori ini dalam pernyataannya:
Democratic participation is an important means of self-development and self-realization. They also hold that more participation will produce individuals with more democratic dispositions – individuals who are more tolerant of difference, more sensitive to reciprocity, better able to engage in moral discourse and judgment, and more prone to examine their own preferences – all qualities conducive to the success of democracy as a way of making decisions.
Contoh organisasi masyarakat sipil atau gerakan sosial (social movement) yang berkembang di negara non demokratis bisa dilihat pada kasus di Taiwan sebelum menjadi demokrasi pada tahun 1987. Sebelumnya Taiwan yang pada saat itu masih di bawah otoritas Cina, memiliki pemerintahan yang otoriter selama kurang lebih 40 tahun terlebih dibawah kepemimpinan Chiang Kai-shek. Dia tidak memperbolehkan adanya partai lain yang berdiri selain partainya sendiri yaitu Kuomintang (KMT) yang bersifat nasionalis. Tercatat sebanyak 7 gerakan sosial yang terjadi di Taiwan sebelum demokratisasi yaitu :
1) The consumers’ movement (1980)
2) The anti – pollution protest movement (1980)
3) The nature conservation movement (1982)
4) The women’s movement (1982)
5) The aborigines’ movement (1983)
6) The students’ movement (1986)
7) The New Testament church protests (1986)
Gerakan – gerakan masyarakat sipil ini terorganisir dengan baik dilihat dari efektifitas dan banyaknya pendukung, meskipun dibawah tekanan pemerintah. Setelah liberalisasi dan demokratisasi Taiwan, lebih banyak organisasi masyarakat sipil dan gerakan sosial yang muncul. Tercatat hingga tahun 1992 sebanyak 12 gerakan sosial terjadi di Taiwan (Hsiao 1992). Hal ini menunjukan bahwa organisasi masyarakat sipil dan gerakan sosial tidak hanya bisa berkembang di negara demokratis saja, namun juga bisa berkembang di negara non demokratis seperti Taiwan sebelum demokratisasi.
III. KESIMPULAN
Berdasarkan isi tulisan dan argumen yang saya sampaikan pada bagian sebelumnya, saya tidak setuju dengan pandangan bahwa organisasi masyarakat sipil hanya bisa berkembang di negara demokratis saja, melainkan bisa juga berkembang di negara non demokratis. Memang terdapat suatu kecenderungan bahwa organisasi masyarakat sipil lebih bisa bekembang di negara demokratis karena terjaminnya kebebasan dan menjadi sarana konsolidasi demokrasi pada masyarakat sipil. Seperti yang dikatakan Putnam bahwa organisasi masyarakat sipil seperti sebuah sekolah untuk membangun budaya politik dan sifat demokrasi bagi masyarakat sehingga menjadi pilar penting bagi demokrasi. Kasus Taiwan mencerminkan bahwa organisasi masyarakat sipil dapat berkembang, terlebih terorganisir dengan baik dibawah pemerintahan yang non demokratis.
DAFTAR REFERENSI
Hsiao, Hsin-Huang M 1992, ‘The Rise of Social movements and Civil Protests’, in TJ Chen and S Haggard, (eds.), Political Change in Taiwan, Boulder & London, Lynn Rienner Publisher, pp. 57-72.
Karabat, A 2010, ‘Levent Korkut: Strong civil society means strong democracy’, Todays Zaman, 6 April, dilihat pada 28 November 2010, http://www.todayszaman.com/news-206551-8-levent-korkut-strong-civil-society-means-strong-democracy.html.
Putnam, RD 1993, Making Democracy Work: Civic Traditions in Modern Italy, Princeton University Press, Princeton.
Warren, ME 1995, ‘The self in discourse democracy’, in SK White (ed.), The Cambridge companion to Habermas, Cambridge, Cambridge University Press, pp. 167-200.
[1] Teori diambil dari slide Yulia I. Sari, dosen mata kuliah NGO dan Masyarakat Sipil, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, UNPAR Bandung.